"SEBUAH PERJALANAN CITACITA"



"Apa yang kau simpan dari citacita?"


Dua belas tahun lalu
saat baru belajar mengeja aksara
Di muka kelas sebuah sekolah dasar
Lugas aku jawab pertanyaan bu guru
Bila sudah besar nanti
aku ingin menjadi seorang polisi
Berseragam gagah, memiliki senjata
Menjaga keamanan, mengabdi kepada negara
Kudapati bu guru 
tersenyum manis membelai rambutku
Namun,
sepulang sekolah kudapati pula
ibuku menangis di balik pintu
Katanya saat mengayuh roda becak
tubuh bapak tertembus sebutir peluru
yang menghalau demo para mahasiswa
di bundaran kampus Gajah Mada
Meminta pergantian pemimpin negara
Dua hari berikutnya,
terekam diingatanku
lautan manusia memadati jalan raya
Rumahrumah sunyi penghuni
Sekolah dan tokotoko menutup diri
Ngarso Dalem, seorang raja istana
di atas sebuah mobil bak terbuka
menenangkan amarah manusia
Meminta pergantian pemimpin negara
Dan selepas penguburan
ibuku tak pernah berceritera
peluru siapa mengambil nyawa bapak


"Apa yang kau simpan dari citacita?"


Empat tahun lalu 
sepulang dari berjualan di pasar 
ibu bertanya tentang hal itu padaku
Setiap senin dan kamis
ibu setia menahan rasa lapar perutnya
demi terkumpul biaya untukku
masuk pendidikan sarjana
Dan aku pun menjawab,
besok menjadi jaksa atau pengacara saja
Ahli hukum bermata elang,
pembela kebenaran berhati samudera
Keesokan harinya,
kudapati ibu semakin tak kenal waktu
menghabiskan hariharinya berjualan
Padahal batuk rejan tak kenal lelah terdengar
dari balik kamar kontrakkan
Aku pun menyelesaikan pendidikan
di sekolah menengah pertama
satu tahun setelah gempa dasar laut 
memporakporandakan selatan kota


"Apa yang kau simpan dari citacita?"


Kini hatiku sendiri yang bertanya,
enam bulan sebelum ujian akhir nasional
Sebelum meninggalkan bangku SMA
Sedang ibu yang tak kuasa menahan sakit
menghadap Gusti Allah Maha Kuasa
Aku akhirnya sendirian
Aku akhirnya tetap berjalan
Mendekap harapan dan keinginan
sebagai sebuah citacita
ternyata jauh berbeda dari yang ada
Aku termangu
Aku terpana
Menyaksikan berita tivi, radio dan surat kabar
Para penegak hukum dari hari kehari
telah menjadi simbol makhluk durjana
dengan hati yang rakus pada kekuasaan,
dengan nafsu liar pada daya pikat harta
Aku lalu meludah ke angkasa
Aku lalu tertawa hingga terkencingkencing 
di celana
Bila citacita aku lanjutkan
aku takut suatu saat ikut menjadi biang 
kejahatan
Akhirnya selepas penguburan,
seluruh uang simpanan ibu aku bagikan
ke barak pengungsian di utara kota
yang sedang tertimpa bencana letusan
Menjadi kendaraan ibu menuju surga


Mendekap harapan dan keinginan
sebagai sebuah citacita
ternyata jauh berbeda dari yang ada
Dan 
dengan ikhlas aku serahkan hembusan nafas
sesuai kehendak alam raya




                                (yogyakarta, November 2010)
                                        :: dharmo-gandoel ::

"KESAKSIAN SEORANG NENEK DARI KAKI MERAPI"



Nak,
Mataku yang rabun dimakan usia
karena tak mampu lagi mengeja senja
telah menjadi saksi
Bahwa masih ada pahlawan sejati
di negeri tercinta ini
Para sukarelawan dengan nyali berani mati
menariknarik tangan kami puluhan kilo
dari laju amarah awan Merapi


Nak,
Tubuhku yang tua renta tak berdaya
Bahkan sudah mulai bau
karena berharihari tak mandi
turut menjadi saksi
Para dermawan pemberi sandang,
pangan dan papan adalah juga pahlawan
yang masih dimiliki negeri terkasih ini
Setelah hatiku kesepian teramat dalam
ditinggal mati ternak peliharaan
Kehilangan warna hijau rerumputan


Nak,
Jika Tuhan benarbenar memintaku
untuk menghadap-Nya saat ini
Aku tak akan menyesal untuk bersaksi
Bahwa di negeriku yang katanya
telah kehilangan moral dan budi pekerti
Masih menyimpan setetes harapan
untuk melahirkan nurani pahlawan 
yang tak pernah sudi dengan kata pujian




                           (yogyakarta, November 2010)
                                  :: dharmo-gandoel ::

" MERAPI "


Ketika sesosok gunung menghela nafas
berkacak pinggang menunjukkan kuasa
Gemuruh tanpa henti kumpulan magma
menghentakkan detak jantung alam raya

Merapi ! 
Merapi ! Merapi !

Bayibayi menjerit 
dalam laju awan hitam kematian
Nyawanyawa merangkak
diantara lontaran kerikil pijar
dan banjir lahar membara
Menciutkan daya pongah manusia

Merapi ! Merapi !
Kau ajarkan bagaimana seharusnya nyali
memahami mati

Ketika sesosok gunung menjadi garang
menghembuskan abu cakrawala bertuba
Warna hijau daundaun diatas tanah gembur
menjelma menjadi endapan lumpur

Merapi !
Merapi ! Merapi !

Alat kontrasepsi penyangga air mani
tercecer di telapak kakimu
Modernisasi menghadirkan adat tak tahu diri

Sesaji, mantra dan bakaran dupa
persembahan untuk tubuhmu di purnama 
Adalah tradisi yang menjadi basi tak berarti

Merapi ! Merapi !
Kau kabarkan bagaimana seharusnya nurani
mencintai bumi dengan sejati


                                   (yogyakarta, November 2010)
                                          :: dharmo-gandoel ::



 
Template by Asker Akbar | Powered by Blogger and Rahatewing |

Copyright © 2011 Gallery Sajak Si Kecil - "Dharmo Gandoel" |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.