Perempuan berdada pepaya jingga
dengan sebuah tato
kembang mawar di tubuhnya
saat senja mulai meremang
di bawah cahya merkuri
bernyanyi diantara rumah hiburan
dan plaza kota
"Jangan panggil aku Marni
kunikmati nama Rani sebagai peri"
Daundaun yang gugur merebah
waktu yang bergulir tanpa arah
Lima tahun yang berselang
hengkang dari kampung halaman
meninggalkan catatan luka hitam
menyisir pinggir metropolitan
"Jangan berkata cinta
Cintaku telah menjadi papa
tatkala di atas jerami basah
dekat pematang sawah
dengan dengus binatang malam
bapak mencincang kedaraan
Maka aku berlari pada cakrawala
Memberi cinta pada setiap lelaki
dalam birahi tubuh semata"
Perempuan berdada pepaya jingga
dengan sebuah tato
kembang mawar di tubuhnya
Mendekap setiap ujung malam
tanpa perlu rasa iba atau gulana
Dan pada sebuah perempatan jalan
tak pernah menyesali sisa hidupnya
"Jangan berkata nista
Kujalani hidup kerna tak berdaya
sedang para lelaki membuka
ikat pinggang celana
dibalik punggung pasangannya
Aku pun kadang bertanya
dimanakah keadilan sebenarnya?"
Bernyanyi burung kholik di angkasa
bernyanyi setelah azan subuh bergema
Paginya,
tubuh seorang perempuan berdada
pepaya jingga
jatuh dari lantai tiga hotel bintang dua
Sebuah pecahan botol wishkey
di tangan kanan
menyisakan ceritera luka
bahwa sang bapak tak pernah
membelai rambutnya dengan agama
Dan jalannya semua peristiwa
menjadi air mata bagi rahim ibunya
(yogyakarta, april 2010)
:: dharmo-gandoel ::
" KISAH PEREMPUAN BERDADA PEPAYA JINGGA "
Diposting oleh
dharmawan pawitra
on Minggu, 04 April 2010
/
Comments: (9)
" RINDU YANG RISIK "
Diposting oleh
dharmawan pawitra
/
Comments: (5)
Sebuah Sajak:
Nona Muchtar & dharmo-gandoel
rasanya begitu pilu
ketika diam meraja
dari balik matamu
dua bola penyekap rindu
"Duhai Juwita,
tataplah mataku
tatap selagi masih ada
sebelum luruh suasana
Dan risik daun diluar
jendela
tibatiba memantulakan
suara pilu terkekang
dalam sebuah gua"
dalam gulita yang berceritera
tentang luka
jadikan aku malammalammu
yang penuh bintang
"Duhai Juwita,
janganlah berbisik
diantara daun yang risik
Pada langit malam
yang mengurai warna jingga
bumiku selalu setia
menggenggam kata rindu
padamu semata"
ah, sayang
kini ada sunyi diwajahku
bertanda merah hati
sejak kau mengirim rindu
dan
gerimis tergelincir jatuh
saat kututup jendela satusatu
sebelum sajak menjelma
wajahmu
(bbp-yogyakarta, akhir maret 2010)
Nona Muchtar & dharmo-gandoel
rasanya begitu pilu
ketika diam meraja
dari balik matamu
dua bola penyekap rindu
"Duhai Juwita,
tataplah mataku
tatap selagi masih ada
sebelum luruh suasana
Dan risik daun diluar
jendela
tibatiba memantulakan
suara pilu terkekang
dalam sebuah gua"
dalam gulita yang berceritera
tentang luka
jadikan aku malammalammu
yang penuh bintang
"Duhai Juwita,
janganlah berbisik
diantara daun yang risik
Pada langit malam
yang mengurai warna jingga
bumiku selalu setia
menggenggam kata rindu
padamu semata"
ah, sayang
kini ada sunyi diwajahku
bertanda merah hati
sejak kau mengirim rindu
dan
gerimis tergelincir jatuh
saat kututup jendela satusatu
sebelum sajak menjelma
wajahmu
(bbp-yogyakarta, akhir maret 2010)
" SEPUCUK SURAT BUAT BUNDA "
Diposting oleh
dharmawan pawitra
/
Comments: (0)
Sepucuk surat terkirim senja
dalam langit lembayung tua
dari pinggir kota yang gila
"Bunda,
ketika rinduku menggantung
tanpa sebaris kata
Aku simpan senyummu
pada gerimis yang tak bersuara"
Senja yang diam, senja yang batu
Air mataku tak pernah mengadu
Dulu saat kau pamit berlalu
mengembara dari halaman rumah
bapakmu
Kedua tanganku tak habishabis
menengadah tanpa malumalu
"Bunda,
ketika terik matahari sepenggalahan
menariknarik otot tengkukku
Aku baru menyadari nikmatnya
menghisap susu dari putingmu"
Anakku lanang, anak petualang
seekor rajawali abuabu diangkasa
tak pernah menyanyi pilu
Dan pada sebuah kursi kayu
aku kan selalu menunggu
diantara pokokpokok bambu
dan perigi waktu
"Bunda,
ketika nafasku menjadi satusatu
dalam sebatang sigaret kretek
yang menghisap nyawaku
Tanpa menghitung tiga purnama
aku kan kembali padamu"
(yogyakarta, maret 2010)